06 Agustus 2009

Wajib Belajar atau Wajib Sekolah

WAJIB BELAJAR ATAU WAJIB SEKOLAH
Sebuah kenyataan pahit yang harus diakui secara jujur, bahwa bangsa Indonesia dalam banyak aspek banyak tertinggal dari bangsa-bangsa yang lain. Termasuk ketertinggalan kita dari Negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Filifina, Thailand bahkan Vietnam. Apalagi kalau dibandingkan dengan Negara-negara yang sudahh maju, seperti Amerika, Inggris, Jepang dll. Bukan hanya ketertinggalan dalam hal pencapaian teknologi dan informasi, tapi jua keterpurukan dalam bidang moral, salah satu diantaranya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang mencengkram semua level, baik dipusat , daerah bahkan tingkat RT/RW sekalipun. Indonesia saat ini bertengger dalam jajaran Negara yang tingkat korupsinya paling tinggi di dunia. Illegal Logging yang menyebebkan rusaknya hutan-hutan di Kalimantan, Sumatra, juga Jawa juga merupakan indicator lemahnya mental dan moral sebagian masyarakat dan bangsa Indonesia. Selain itu Indonesia juga sekarang sudah menjadi produsen berbagai zat adiktif dan narkotika, seperti, sabu-sabu , putaw serta ekstasi dll
Pertanyaan yang menyeruak adalah, kenapa terjadi demikian ? Bukankah sebagian besar orang yang melakukan hal tersebut, pernah mengenyam tingkat pendidikan atau pernah bersekolah ? Bahkan actor intelektual dari kegiatan criminal dan abuse of power tersebut biasanya bukan " orang sembarangan " baik dilihat dari tingkat pendidikan maupun jabatan. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, apakah ada yang salah dengan system persekolahan kita ? bukankah di sekolah mulai dari TK, SD sampai perhuruan tinggi " diajarkan " tentang berbagai nilai dan moral yang baik ? lalu kenapa sepertinya " ajaran " tentang nilai da moral tersebut menguap begitu saja, saat kita terjun dalam kehidupan masyarakat. Kita lupa bahwa kita pernah diwanti-wanti oleh guru-guru PKn kita, agar menjadi warga Negara yang baik, yangmengutamakan kepentingan masyarakat banyak daripada kepentingan golongan dan pribadi. Tapi kenytaannya " petuah-petuah san guru " sat mereka bersekolah hilang begitu saja. Ironisnya kita melakukan hal yang sebaliknya yaitu, mementingkan pribadi dan kroni kita. Atau guruguru agama kita yang menasihatkan bahwa semua yang dilakukan akan ada perhitungannya kelak di yamul akhir, tapi apa lacur, kita tetap melakukan praktik-praktik curang tersebut secara vulgar, tanpa tkut bahwa harta yang kita kumpulkan tersebut akan ditanya darimana dan dengan cara apa kita mendapatkannya
Untuk megetahui jawaban dari semua itu, mak perlu kita merunut kembali teks-teks atau teori-teori tentang apa sesungguhnya yang disebut belajar dan apa saja yang diajarkan di sekolah. Dari beberapa literature kita mendaptkan bahwa definisi belajar adalah perubahan prilaku yang relative permanent sebagai hasil dari pengalaman dan latihan. Walaupun sesungguhnyabanyak sekali teori-teori atau definisi tentang belajar. Tapi definisi yang tadi disebutkan merupakan teori yang paling banyak dipakai berbagai kalangan. Dari definisi belajar tersebut kita bisa menganalisis permasahan yang kita hadapi, untuk menemukan berbagai probabilitas jawabannya.
Pertama, kita menemukan bahwa belajar adalah perubahan prilaku, tentu saja dalam hal ini prilaku kearah yang lebih baik. Prilaku dalam proses pembelajaran menurut Benjamin Bloom adalah : 1). Prilaku kognitif yaitu perubahan yang bersifat inteletual yaitu tambahan pengetahuan, daya nalar dan analisa; 2). Perubahan afektif, yaitu perubahan yang terkait dengan mental emosional individu, contoh etos belajar, kerja keras, empati, kejujuran, rasa tanggung jawab, kepemimpinan dll; 3). Perubahan psikomotor yaitu beratmbahnya keterampilan-keterampilan yng bersifat fisik atau jasmaniah, misalnya kemampuan menggunakan mikroskop, mempu melakukan gerakan-gerakan dalam olahraga dll. Dan ada yang belumterjamah oleh Bloom yaitu, perubahan ranah spiritual, yaitu bertambahnya rasa tanggungjawab terhadap Allah SWT atas berbagai aktivitas yang dilakukan yang yakin akan mendapat balasannya sesuai dengan aktivitas yang dilakuakan. Sehingga dengan kesadaran tersebut, setiap individu berusaha agar semua aktivitasnya selalu sinkron dengan tata aturan yang telah digariskan olehAllah SWT, dalam hal ini Al-Quran dan al-hadist.
Kedua, perubahan prilaku tersebut bersifat permanent, artinya perubahan itu selalu menetap dalam situais dan kondisi apapun. Dengan kata lain perubahan prilaku yang bersifat temporal atau berganti-ganti sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu, belum bias dikatakan individu tersebut telah melakukan pembelajaran.
Ketiga, perubahan tersebut merupkan hasil dari sebuah pengalam dan latihan yang terus menerus. Pengalaman dan latihan yang dimaksud disini adalah pengalaan dan latihan dalam proses pembelajaran di sekolah.Pengalaman dan latihan dalam proses interaksi eduktif di lingkungan sekolah, baik anatar siswa, siswa dengan guru, siswa dengan staf Tu, penjaga sekolah dll.
Dari fenomena yang telah digambarkan di atas, dengan mengambil istilah Thomas Kotten, bahwa masrakat kita sedang menderita " sakit ", kita bias mengatkan bahwa banyak individu bersekolah tapi sedikit belajar. Fenomena ketidakbelajaran ini tidak semata-mata kesalahnyanya ditimpakan kepada siswa yang belajar, tapi justru sebagian besarberasal dari lingkungan sekitarnya, termasuk para guru yang mendidik an mengajar " yag tidak tahu atau lalai " dalam membelajarakan siswanya.
Indikator ketidakbelajaran tersebut bias dianalisadari teori belajar yang kita pakai. Pertama, belajar merupakan perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik, kenyataannya bahwa apa yang telah diajarkan di sekolah yaitu berupa nilai-nilai dan moralitas ternyata mengua[ begitu saja saat terjun ke masyarakat. Artinya tidak ada perubahan prilaku dari individu yang pernah " belajar " di sekolah dan itu sama artinya dengan tidak belajar. Kedua, bias saja terjadi perubahan prilaku, tapi hanya sebatas perubahan prilaku kognitif, yaitu individu yang menjadi lebih pintar, cerdas dan luas wawasannya. Dan inidimungkikan, karena dari pengalaman penulis di lapangan, banyak sekali guru (yang karena korban system pendidika yang lebih menekankn aspek kognitif dan ketidaktahuan guru itu sendiri) melakukan proses pembelajaran yang bersifat transfer of knowlwdge atay hanya menyampaikan materi pembelajaran semata. Justru akibat yang ditimulkan dari kesalahan fatal dalam proses pembelajaran ini adalah, benyaknya individu yang pinter dan cerdas, menyalahguanakan kepintaran dan kecerdasannya utnuk digunakan dalam berbagai penyimpamgan social, karena tidak dibarengi dengan kesalehan social (afektif) dan kecerdasan spiritual (spiritual). Korupsi milyaran bahkan triliunan yang desturktif merupakan contoh yang paing pas untuk kasus ini. Adagium mangatakan bahwa kejahatan yang dilakuan oleh individu yang pintar, jauh sangat berbahaya dan merusak, dibandingkan kejahatan yang dilakukan oleh individu yang bodoh. Ketiga bahwa yang disebut belajar adalah perubahan prilaku yang relative permanent. Indikator belajar ini menjelakan kepada kira bahwa sebagian besar tidak ada pembelajaran yang dilakukan individu di sekolah, karena tidak ada prilaku-prilaku moralitas yang tinggi yang permanent saat individu itu telah terjuan ke masyarakat. Padahal kalau kita mengacu pada indicator belajar tersebut, setelah individu menamatkan sekolahnya yang di dalamnya dipenuhi dengan ajaran dan pesan tentang " pembelajaran nilai dan kebaikan, kejujuran, tanggung jawab dan menjunjung tinggi moralitas ' seharusnya prilaku itu terbawa sampai ia msuk pada dunia sesungguhnya yaitu masyarakat. Tapi realitasnya tidak. Dengan kata lain, indicator ini menjelaskan bahwa sesungguhnya banyak individu yang bersekolah tapi tidak pernah belajar. Ketidakbelajaran ini, sekali lagi tidak hanya dilakukan semata-mata oleh individu anak yang belajar, tapi justru sebagian besar ktidakbelajaran ini dipicu oleh factor lingkungan diluar dirinya yang tidak pernah membelajarakan anak didiknya.
Berikut ini cerita nyata tentang seorang anak, M Izza Ahsan anak SMP kelas 3, yang tidak betah lagi " bersekolah " yang saya cuplik ari tulisan Drajat, Guru SMPN 1 Cangkuang banjaran (PR/Forum Guru /4 mei 2009) yang mengutip dari buku Dunia Tanpa sekolah, dengan bahasanya yang apik ia meuturkan " sindrom sekolah mengalir keseluruh peredaran darah dan otakku. Merampok kebahagianku. Aku semakin tidak betah di sekolah. Ditambah lagi dengan keberadaan guru penghancur mental. Guru yang mempermalukan mental di depan umum. Guru yang tidak mempergunakan jangka sebagai alat pengajar, melainka sebagai alat penghajar. Guru yang membuat kelas sesunyi kuburan dengan dalih menciptakan suasana kondusif. Sekolah seperti memenjarakan dan hanya mengotori otakku, menghambat impianku. Sekolah itu seperti susah payah menimba air dari dalam sumur, lalu mengguyurnya ketempat semula. Sebagai remaja yang ingin terus belajar dalam arti sebenarnya, aku tidak ingin tersesat di sekolah. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari sekolah formal dan menciptakan sekolahku sendiri. Aku memilih melawan arus, membebaskan diri sepenuhnya, tetapi uga mendapat tantangan brat dari luar. Yaitu dari orang-orang yang mengangap anak yang tidak ingin sekolah, tapi ingin belajar adalah lelucon, sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa.
Anak yang merasakan persaan seperti itu banyak sekali, tapi mreka tak mampu mengekstresikannya seperti M Izza Ahsan. Mereka hanya mampu mengekpresikannya dalam fenomena bolos, atau menjadi trouble maker di sekolah, yang justru telah memenjarakan mereka dalam labeling" anak nakal dan bodoh " selama bertahun-tahun. Dan lucunya pelabelan itu dilakukan oelh guru-guru yang juga " tidak cerdas dalam arti sebenarnya ". Maka tidak heran, hasil yang didapat bertahun-tahun dari sekolah adalah keterpurukan bangsa dan negara oleh orang-orang yang "bersekolah " tapi sedikit mengalami pemeblajaran.
Sejalan dengan itu, simaklah kata-kata bijak andrias herafa penulis buku best seller " Menjadi Manusia Pembelajar " dalam buku Mutiara Pembelajar (2001) " saya tidak mengatkan bahwa sebagai masyarakat bangsa kita sama sekali tidak belajar. Kita belajar juga. Namun kita belajar too slow (terlalu lamban), too little (terlalu sedikit) dan too late (terlalu terlambat). Semua itu terjadi, antara lain karena kita menerima begitu saja ketika pendidikan dipersamaka dengan sekolah "
Jadi, …wajib belajarkah atau waib sekolah ?

Karangnunggal, Juni 2009
Tantan Suhartana, M.Pd
Guru SMP negeri 3 Karangnunggal
(Magister pada Konsentrasi Value Education
UPI Bandung)

Tidak ada komentar: